KLENTENG SAM POO KONG
Semarang sebagai ibu kota propinsi jawa tengah, tentunya memiliki beragam etnis sebagai warga kotanya, salah atu etnis yang ada di kota semarang adalah etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa tentu mereka akan mengenal latar budaya nenek moyang mereka. Salah satu tempat bersejarah yang ada di kota semarang yang berhubungan dengan etnis Tionghoa adalah klenteng. Di Kota semarang sendiri berdiri beberapa klenteng sebagai tempat etnis Tionghoa yang menganut agama Konghuchu menjalan ibadahnya, salah satu klenteng yang terbesar dan terkenal di semarang adalah klenteng Sam Poo Kong, yang letaknya di daerah Gedong Batu, wilayah Semarang Barat
Klenteng Sam Poo Kong merupakan salah satu petilasan dan pendaratan pertama oleh seorang Laksamana Tiongkok pada saat itu yang bernama Zheng He atau Cheng Ho Menurut inskripsi di Klenteng Sam Poo Kong yang ditulis dalam tiga bahasa, Inggris, China, dan Indonesia, tercatat Cheng Ho telah dua kali datang ke Kota Semarang, yakni pada 1406 dan 1416 M. Asal nama Sam Poo Kong diceritakan berasal dari nama Cheng Ho. Laksamana Cheng Ho merupakan sidasida (pria yang dikebiri dan mengabdikan diri pada istana) yang berasal dari Yunan dan biasa disebut San Pau. Sementara, orang-orang dari daerah Fukien menyebutnya dengan nama Sam Po. Diketahui, orang-orang China perantauan di Simongan berasal dari Fukien.
Cheng Ho disebut Sam Po Tay Djien atau Sam Po Tao Lang yang berarti Tuan Besar Sam Po. Saat itu ekspedisi Cheng Ho mengerahkan armada raksasa. Pada muhibah pertama, tercatat sebanyak 62 kapal besar dan belasan kapal kecil dengan 27.800 ribu awak dikerahkan. Kapal yang ditumpangi Cheng Ho sendiri yang disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya 44,4 zhang (138 meter) dan lebar 18 zhang (56 m). Armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho itu pun berangkat pada tahun 1405. Armada itu singgah di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung Priok) dan di Muara Jati (Cirebon). Saat menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada itu) sakit keras. Mereka mendarat di Pantai Simongan, Semarang, dan tinggal sementara di sana.
Wang, yang kini dikenal sebagai Kiai Jurumudi Dampo Awang, akhirnya menetap dan menjadi cikal bakal warga Tionghoa di sana. Wang juga mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong), dan membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.
Walau Laksamana Cheng Ho beragama Islam, warga China non–Muslim tetap memujanya. Sosok Cheng Ho sangat dihormati tak hanya oleh warga Tionghoa, namun juga warga setempat. Tahun 1407 M – 1409 M ekspedisi kedua kembali dilakukan, namun Cheng Ho tak ikut memimpin ekspedisi ini, dia tetap di Cina merenovasi masjid di kampung halamannya. Ekspedisi ketiga digelar pada 1409 M – 1411 M menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413 M – 1415 M kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417M – 1419 M) dan keenam (1421 M – 1422 M). Ekspedisi terakhir (1431 M- 1433 M) berhasil mencapai Laut Merah.
Ekspedisi luar biasa itu tercatat dan terekam dalam buku Zheng He’s Navigation Map yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Jalur perdagangan Cina berubah, tidak sekadar bertumpu pada ‘Jalur Sutera’ antara Beijing-Bukhara. Tak ada penaklukan dalam ekspedisi itu. Sejarawan Jeanette Mirsky menyatakan, ekspedisi bertujuan untuk memperkenalkan dan mengangkat nama besar Dinasti Ming ke seluruh dunia. Kaisar Zhu Di berharap dengan ekspedisi itu, negara-negara lain mengakui kebesaran Kaisar Cina sebagai The Son of Heaven (Putra Dewata. Tindakan militer hanya diterapkan ketika armada yang dipimpinnya menghadapi para perompak di laut.
Cheng Ho tutup usia di Caliut, India ketika hendak pulang dari ekspedisi ketujuh pada 1433 M. Namun, ada pula yang menyatakan dia meninggal setelah sampai di Cina pada 1435. Setiap tahun ekspedisinya selalu dikenang. Dalam batu prasasti yang ditemukan di Provinsi Fujian itu, Cheng Ho mengatakan bahwa dirinya diperintahkan kaisar Dinasti Ming untuk berlayar mengarungi samudera menuju negara-negara di luar horizon. Dalam ekspedisinya mengelilingi benua Afrika dan Asia itu, Cheng Ho mengerahkan armada raksasa dengan puluhan kapal besar dan kapal kecil serta puluhan ribu awak. Pada ekspedisi pertama, ia mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800 ribu awak. Pada pelayaran ketiga, Cheng Ho menurunkan kapal besar sebanyak 48 buah dengan 27 ribu awak. Sedangkan pada pelayaran ketujuh, tak kurang dari 61 kapal besar dikerahkan dengan awaknya mencapai 27.550 orang. Padahal, ekspedisi yang dilakukan Columbus saat menemukan benua Amerika hanya mengerahkan tiga kapal dengan awak mencapai 88 orang.
Cheng Ho tutup usia di Caliut, India ketika hendak pulang dari ekspedisi ketujuh pada 1433 M. Namun, ada pula yang menyatakan dia meninggal setelah sampai di Cina pada 1435. Setiap tahun ekspedisinya selalu dikenang. Dalam batu prasasti yang ditemukan di Provinsi Fujian itu, Cheng Ho mengatakan bahwa dirinya diperintahkan kaisar Dinasti Ming untuk berlayar mengarungi samudera menuju negara-negara di luar horizon. Dalam ekspedisinya mengelilingi benua Afrika dan Asia itu, Cheng Ho mengerahkan armada raksasa dengan puluhan kapal besar dan kapal kecil serta puluhan ribu awak. Pada ekspedisi pertama, ia mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800 ribu awak. Pada pelayaran ketiga, Cheng Ho menurunkan kapal besar sebanyak 48 buah dengan 27 ribu awak. Sedangkan pada pelayaran ketujuh, tak kurang dari 61 kapal besar dikerahkan dengan awaknya mencapai 27.550 orang. Padahal, ekspedisi yang dilakukan Columbus saat menemukan benua Amerika hanya mengerahkan tiga kapal dengan awak mencapai 88 orang.
Sebuah ekspedisi yang benar-benar dahsyat. Dalam setiap ekspedisi itu, secara khusus Cheng Ho menumpangi ‘kapal pusaka’. Sebuah kapal terbesar pada abad ke-15 M. Betapa tidak, panjangnya saja mencapai 138 meter dan lebarnya sekitar 56 meter. Ekspedisi pertama Cheng Ho dilakukan pada tahun 1405 M – 1407 M. Sebelum memulai ekspedisinya, rombongan besar itu menunaikan shalat terlebih dulu di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai Caliut, barat daya India dan sampai di wilayah Asia Tenggara: Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Vietnam, Srilangka. Di setiap persinggahan armada itu melakukan transaksi dengan cara barter.
Tahun 1407 M – 1409 M ekspedisi kedua kembali dilakukan, namun Cheng Ho tak ikut memimpin ekspedisi ini, dia tetap di Cina merenovasi masjid di kampung halamannya. Ekspedisi ketiga digelar pada 1409 M – 1411 M menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413 M – 1415 M kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417M – 1419 M) dan keenam (1421 M – 1422 M). Ekspedisi terakhir (1431 M- 1433 M) berhasil mencapai Laut Merah. Ekspedisi luar biasa itu tercatat dan terekam dalam buku Zheng He’s Navigation Map yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Jalur perdagangan Cina berubah, tidak sekadar bertumpu pada ‘Jalur Sutera’ antara Beijing-Bukhara.
Tak ada penaklukan dalam ekspedisi itu. Sejarawan Jeanette Mirsky menyatakan, ekspedisi bertujuan untuk memperkenalkan dan mengangkat nama besar Dinasti Ming ke seluruh dunia. Kaisar Zhu Di berharap dengan ekspedisi itu, negara-negara lain mengakui kebesaran Kaisar Cina sebagai The Son of Heaven (Putra Dewata. Tindakan militer hanya diterapkan ketika armada yang dipimpinnya menghadapi para perompak di laut. Cheng Ho tutup usia di Caliut, India ketika hendak pulang dari ekspedisi ketujuh pada 1433 M. Namun, ada pula yang menyatakan dia meninggal setelah sampai di Cina pada 1435. Setiap tahun ekspedisinya selalu dikenang.